WELLCOME TEACHERS

Untuk semua rekan - rekan guru, sahabat kenalan yang mempunyai kepedulian dan perhatian terhadap dunia keguruan.... Ini adalah media kita bersama untuk membagi pengalaman - pengalaman menarik ataupun hal - hal problematis yang pernah kita temui selama menekuni profesi yang diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa tersebut.

Kamis, 06 Januari 2011

MENGAPA SISWA TIDAK LULUS UN?

Oleh Drs. Martinus Peka Kada
Pos Kupang, Rabu/ 30 Juni 2010
Itu artinya siswa bersangkutan mampu secara intelektual, punya perwatakan yang baik, dan keterampilan yang mencapai tingkat memadai. Singkat cerita, punya kompetensi seperti yang disyaratkan oleh Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ataupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tak ketinggalan Dinas Pendidikan, kalaupun tidak merasa bersalah, pastilah menepuk dada menyesal. Jelas alasannya, dana yang begitu banyak digelontorkan, waktu serta energi, semua berfokus pada peningkatakan mutu, namun hasilnya belum signifikan.

Pertanyaan mendasar bukan pada wilayah siapa salah dan siapa benar tetapi harus berkisar pada kawasan sistem yang berbicara seputar komponen-komponen terkait dalam satu lingkaran kerja yang bertujuan menghasilkan suatu output. Siswa tidak lulus dalam persentase yang tinggi adalah ciri output yang tidak diharapkan bahkan boleh dikatakan buruk. Saudara para guru pasti paham betul tentang tugas profesional seorang guru. Kalaupun secara teoritis ilmiah mungkin belum bisa merincikan apa itu profesional tetapi realita menyangkut bidang tugas, pastilah tahu. Membuat persiapan, aksi dalam proses pembelajaran, evaluasi serta tidak lanjut program. Begitu sederhana, mana mungkin saudara guru tidak mampu, psatilah bisa.

UU Guru dan Dosen berbicara cukup jelas tentang kompetensi dasar yang wajib dimiliki oleh guru. Dari kompetensi kepribadian, sosial, akademik sampai kompetensi pedagogik. Salah satu pesan yang hendak disampaikan oleh UU Guru dan Dosen adalah bahwa menjadi guru itu suatu profesi. Artinya dengan istilah profesi, pilihan menjadi guru itu setara sejalan dengan profesi seperti dokter, akuntan, dan pengacara.

Ada batasan yang cukup tegas dan harus ada pembuktian baik secara yuridis maupun muatan substansi keilmuan. Tegasnya, menjadi guru, bukanlah sekadar asal jadi guru, daripada tidak ada pekerjaan, biarlah jadi guru sajalah. Kita berharap bahwa para guru kita tidak tergolong dalam area 'guru sekedar'.

Ada alasan lain bahwa guru kita profesional adalah kepemilikan sertifikasi profesi sebagai bukti hukum. Dan bukti legal formal ini sebagai konsekuensi lanjutan yang bercerita bahwa pemilik sertifikasi tersebut telah mempunyai kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik dan akademik. Karenanya profesionalitas dalam mendesain pembelajaran, kecekatan dalam mengelola pembelajaran tidak perlu diragukan. Kalau ragu, apalagi yang mau diragukan? Meski begitu, pertanyaan kita, mengapa nian persentase kelulusan masih sangat prihatin?

Menurut analisis, setidaknya ada beberapa hal, yang meski sebatas dugaan, merupakan penyebab siswa tidak lulus. Saya melihat sebatas guru. (1) Integritas dan komitmen melemah. Seharusnya, kita tidak boleh bicara soal ini karena namanya profesional sudah memuat segmen integritas dan komitmen, artinya begitu menyebut profesionalistas kedua hal tersebut sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan. Yang menjadi soal ialah ketika paradigma sistem dan kebijakan sudah berpindah posisi, sementara realita kita masih sebatas "learning to know" = masih belajar mengetahui, belum sampai pada "learning to do" = belajar untuk berbuat. Artinya komitmen dan integritas itu belum tampak pada performans kerja. Indikator kita sederhana, sebuah pertanyaan, cukup buat kita, "sudahkah guru-guru kita menerapkan secara konsekuensi pendekatan yang pas dalam pembelajaran?" Cobalah jujur menjawab! Semestinya kondisi stagnan seperti itu segera dieliminir dengan semangat profesionalisme. Tugas kita pada wilayah profesionalisme ialah terus-menerus menunjukkan tanggung jawab, kesungguhan, keuletan menuju derajat pencapaian yang optimal. Harus ada keberanian mengakui kekeliruan serta segera merumuskan kekeliruan dalam kalimat yang jujur.

(2) Pembelajaran masih berfokus pada guru. Secara teoritis, kita meyakini bahwa istilah pembelajaran artinya seluruh kegiatan berfokus pada siswa agar potensi atau bakat bawahan siswa bolehlah berkembang secara wajar dan optimal. Cuma soalnya pendekatan atau pandangan dasar tentang siapa itu siswa sudah bergeser, namun dalam realita posisi kita masih pada paradigma lama, meski ada dinamika, tapi toh, masih jalan-jalan di tempat. Pada point ini, bukan tidak mungkin, pembelajaran dirasa sebagai beban dan bukan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Harusnya semangat dasar yang termuat pada kata "sekolah" yang berasal dari bahasa Belanda "sechole" artinya datang untuk bersenang-senang, perlu disegarkan kembali. Karena itu motivasi untuk menjadi pembicara tunggal dalam kelas pelan-pelan dieliminir dan mulai bergeser ke optimalisasi potensi siswa. Ada kecenderungan tetap untuk menceramahi siswa sementara melupakan bahwa pekerjaan mendengar tergolong berat, serta tingkat serapan materi pembelajaran dengan mendengar terbilang cuku rendah, sekitar 20% saja. Sementara persentase yang tersisa haruslah dicapai dengan cara lain.

(3) Etos kerja dan pembangkitan dimensi rohani belum pas di kalangan guru. Artinya para guru masih pada posisi "guru pekerja" dengan ciri mengajar dengan cara yang sama, memakai referensi yang sama, pada siswa yang berbeda, di sekolah yang sama, (Tengku Ramli). Mestinya penanaman kesadaran baru bahwa dengan sungguh-sungguh bekerja adalah semacam "doa" harian bagi seorang guru. Sedikit demi sedikit membersihkan diri dari posisi "guru pekerja". Hal ini bisa mungkin terjadi bila para guru mulai mengubah pola pikir, pola laku dan pola rasa. Rumusannya sederhana, "berani berubah". Istilah ini sama sejalan dengan istilah guru kreatif dan guru inovatif, sedang Robert Kiyosaki dalam buku Tengku Ramli, menyebut dengan istilah "berpindah kuadran".

Paradigma bekerja dengan sungguh-sungguh sama dengan jargon "melayani". Kata "melayani" memuat arti bekerja tanpa pamrih pragmatis. Istilah "melayani" sama dan sejajar dengan kata "investasi". Pada saatnya nanti "investasi" tersebut boleh memberi buah bagi orang yang melakukannya. Dalam perspektif budaya, pekerjaan "melayani" harusnya sudah dengan sendirinya merupakan bagian dari sebuah kepribadian yang tak mungkin dipisahkan. Karena itu adalah tidak tepat dikatakan dengan istilah "penanaman kesadaran baru". Energi "melayani" sudah tertanam dalam kesadaran masing-masing guru tetapi kekuatan itu tidak dibangkitkan hingga mengendap di bawah kesadaran manusiawi seorang guru. Muara dari analisis di atas adalah pada tataran 4 kompetensi guru seperti dimaui oleh UU Guru dan Dosen yaitu kompentensi kepribadian, sosial, akademik, dan pedagogik. Dari perspektif ini sebenarnya Undang-undang Guru dan Dosen cukup menyebut dua kompetensi yaitu kompetensi akademik dan kompetensi pedagogik. Kompetensi kepribadian dan sosial sebenarnya sudah ada dalam setiap pribadi guru. Persoalannya, adakah kesungguhan para guru memanfaatkan kompentensi kepunyaannya itu?

(4) Reward and punishment yang belum pas. Selama ini perlakuan kepada semua guru sama dan merata. Guru yang berprestasi baik dihargai sama dengan guru yang berprestasi buruk. Pola sikap ini dapat melemahkan kinerja guru. Artinya belum ada penciptaan iklim kompetensi yang sehat dan kompetitif. Meski siswa di sebuah sekolah persentase kelulusan rendah, toh guru-gurunya tetap naik pangkat serta uang kesejahteraan tetap dibayar. Artinya guru tidak ikut bertanggung jawab atas prestasinya yang buruk. Sama saja dengan mengatakan bahwa yang salah bukan guru, tapi orang lain. Iklim kerja seperti ini sangat mungkin melemahkan kreativitas dan inovasi di bidang pembelajaran. Para kepala sekolah disarankan untuk boleh menciptakan iklim kerja kompetitif agar mendapatkan guru-guru yang secara kualitas lebih unggul dari pada guru lain. Para guru yang berkualitas harus dipelihara dalam suatu sistem yang memungkinkan guru berkualitas menjadi sumber kecenderungan bagi guru yang lain.

(5) Pemupukan dan pemeliharaan semangat untuk menjadi pendidik yang baik melemah. Memang salah satu fungsi guru adalah mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi hendaklah strategi atau pendekatan yang pas haruslah menjadi titik star karena siswa bukanlah wadah kosong seperti pandangan para ahli tertentu, tetapi sudah dibekali kemampuan, bakat, minat, yang bersifat potensial yang akan berkembang optimal dalam setting lingkungan yang memungkinkan. Mungkin baik juga kita perlu menyadari kembali pandangan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Hadayani. Memang sebagai guru perlu memahami dan menghayati bahwa para siswa adalah sekelompok manusia muda yang perlu dipahami, dihargai, dicintai. Guru perlu menunjukkan perilaku yang diharapkan mendengarkan siswa, menghargai siswa, mengembangkan harga diri siswa, mampu memberi tantangan, dan menciptakan suasana tidak takut gagal, atau tidak takut salah pada diri siswa. (Mansnur Muslich: KTSP).

Kadis PPO Propinsi, Thobias Uly benar, mengatakan bahwa ketidaklulusan siswa hanyalah faktor psikis, siswa kita sebenarnya mampu (Pos Kupang, 4 Juni 2010). Boleh ditambahkan bahwa tidak saja pada saat ujian, faktor psikis juga ikut berperan sangat penting pada waktu mendesain pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, juga pada domain evaluasi. Ada guru yang cenderung mematikan kreativitas dengan mencelah kesalahan siswa, memberi gelar negatif pada siswa. Melaksanakan pembelajaran monoton juga sangat melemahkan kreativitas siswa. Demikian juga menyusun soal yang kurang relevan dengan topik pembelajaran. Adalah sangat merugikan siswa ialah kecenderungan menyusun soal yang tidak boleh siswa benar. Kalau betul ada guru seperti itu maka betapa naifnya guru bersangkutan, mudah-mudahan tidak ada.

Ke depan kita harapkan agar ada semacam diklat bagi para guru yang mampu menciptakan kesadaran baru untuk mengubah atau mencoba pola-pola pembelajaran baru. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau sesudah diklat, ada tindak lanjut semacam on service atau supervisi bagi guru-guru yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan (Diklat). Sistem ini perlu diikuti secara terprogram dengan sasaran utama mengubah paradigma, dari paradigma pengajaran menuju paradigma pembelajaran. Dari paradigma siswa sebagai obyek menjadi siswa sebagai subyek belajar yang sudah diberi kemampuan bawaan dari lahir. Kemampuan itu ada dan potensial yang terekam pada otak sebelah kiri dan otak sebelah kanan. Dan kalau kemampuan itu sudah ada pada siswa, mengapa mesti susah-susah? Yang dibutuhkan adalah keberanian mengubah paradigma: Dari "mengajar" menuju "pembelajaran". Kalau pergeseran paradigma dijalankan secara sungguh-sungguh niscaya seluruh kompetensi siswa tercapai, dan tentu saja persentase kelulusan akan lebih baik. *



Pengawas Sekolah Menengah Flores Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar