WELLCOME TEACHERS

Untuk semua rekan - rekan guru, sahabat kenalan yang mempunyai kepedulian dan perhatian terhadap dunia keguruan.... Ini adalah media kita bersama untuk membagi pengalaman - pengalaman menarik ataupun hal - hal problematis yang pernah kita temui selama menekuni profesi yang diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa tersebut.

Jumat, 07 Januari 2011

MENJARING DAN MENGHASILKAN BIBIT UNGGUL PROFESI GURU

(Refleksi Peringatan Hari Guru 25 Nopember 2010)
Timor Express, 24 Nopember 2010
Oleh : Yohanes Peu

Berbicara tentang guru, tentu tidak dapat terlepas dari citra dan kualitas guru yang semakin memudar. Kenyataan menunjukkan bahwa sejak lebih dari dua dasawarsa terakhir, pekerjaan guru tidak menarik lagi, sehingga hanya dipilih oleh mereka yang tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun demikian, harus diakui bahwa tidak semua guru seperti itu. Masih banyak guru yang mendedikasikan dirinya dalam bidang pendidikan ini karena memang benar-benar menyadari pentingnya pendidikan dan pentingnya peran guru dalam membina generasi penerus yang akan menentukan nasib bangsa di masa yang akan datang.
Idealnya, semua stakeholder pendidikan mengharapkan agar para guru sebagai agen pelaksana pembelajaran di kelas harus betul – betul berkualitas. Harapan ini secara jelas tertuang dalam Undang – Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan berbagai produk ketentuan hukum tentang pendidikan lainnya. Undang – Undang RI No. 14 Tahun 2005 misalnya, mengisyaratkan bahwa kualifikasi guru untuk semua jenjang pendidikan adalah minimal S1 (Sarjana). Lantas apakah dengan kualifikasi tersebut mencerminkan kualitas guru? Tunggu dulu!
Prof. Dr. A. Mans Mandaru pada sekali kesempatan perkuliahan di kampus FKIP UNDANA mengatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan siswa dalam Ujian Nasional (UN) adalah karena selama evalusi pembelajaran pra- UN, para guru cenderung membuat pertanyaan-pertanyaan sebatas ranah kognitif tingkat rendah antara lain tingkat ingatan, pemahaman dan aplikasi. Akibatnya ketika siswa dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan ranah kognitif tingkat tinggi (misalnya ketika UN), para siswa kita kelabakan.
Kala itu penulis merefleksi dan mengaitkannya dengan kenyataan empiris di sekolah, ternyata pernyataan sang profesor tersebut benar adanya. Dan jika pernyataan tersebut sahih dan representatif maka dapat di duga sebagai satu indikator rendahnya kualitas guru terlebih dalam hal keterampilan merumuskan atau membuat pertanyaan.
Tulisan ini mau menyoroti faktor penyebab kelemahan guru dalam merumuskan pertanyaan yang hanya terbatas pada ranah kognitif tingkat rendah dan juga memaparkan strategi menjaring dan menciptakan bibit unggul profesi guru. Selain itu tulisan ini dapat menjadi bahan refleksi bagi semua komponen pendidikan pada peringatan hari guru tanggal 25 Nopember 2010.
Merefleksi kembali penyataan Profesor Mans diatas, penulis mengakui bahwa yang terjadi selama ini para guru hanya membuat pertanyaan-pertanyaan dalam evaluasi pembelajaran sebatas ranah kognitif tingkat rendah yaitu ingatan, pemahaman dan aplikasi (sesuai pengalaman penulis selama menjadi guru). Mengapa? Alasannya tentu akan berbeda-beda jika pertanyaan ini diajukan kepada setiap guru. Bagi saya, alasan mendasar guru tidak merumuskan pertanyaan - pertanyaan pada tataran kognitif tingkat tinggi yaitu karena para guru berada dalam satu sistem yang sudah terpola untuk mengerjakan sesuatu mengikuti pola yang sudah ada. Pengalaman saya menjadi guru ketika merumuskan pertanyaan saat ujian semester misalnya, saya pun harus membuat pertanyaan mengikuti petunjuk yang diberikan yaitu pertanyaan sebatas ranah konitif ingatan, pemahaman dan aplikasi. Alasan lainnya adalah karena selama saya kuliah dosen tidak pernah mengajarkan bagaimana membuat pertanyaan – pertanyaan dimaksud. Malah yang terjadi pada matakuliah yang membidangi evaluasi belajar misalnya assesmen pembelajaran, para dosen justru mengkomersialkan matakuliah yang diasuhnya. Dosen menjual modul, jarang memberikan kuliah sambil menunggu waktu yang tepat untuk memberikan ujian akhir semester selanjutnya memberikan skor nilai kepada mahasiswa. Parahnya lagi, bagi mahasiswa yang tidak membeli modul maka jelas tidak mendapatkan skor nilai. Aneh tapi ini nyata sesuai yang saya alami pada perjalanan perkuliahan saya selama ini.
Inilah alasan mendasar saya (secara pribadi) jika ditanya soal ketidakmampuan merumuskan pertanyaan pada ranah kognitif tingkat tinggi. Jadi alasan mengapa para guru hanya mampu merumuskan pertanyaan sebatas pada ranah kognitif tingkat rendah yaitu bahwa optimalisasi pembekalan seorang calon guru selama belajar di LPTK ( Lembaga Penyedia Tenaga Kependidikan ) belum maksimal sehingga ketika terjun di sekolah pun para guru hanya memiliki kemampuan dan keterampilan yang apa adanya. Dan dengan demikian maka saya dapat menduga bahwa rendahnya kualitas guru bisa disebabkan oleh rendahya kualitas layanan yang diberikan kepada seorang calon guru selama belajar di LPTK.
Oleh karena itu ada beberapa strategi untuk menjaring dan menghasilkan bibit unggul ( dapat dibaca : guru berkualitas ) profesi guru.

Menjaring Bibit Unggul Profesi Guru

Kita saksikan akhir – akhir ini saat musim penerimaan mahasiswa (tahun akademik baru), iklan penerimaan mahasiswa baru nyaris memenuhi halaman surat kabar lokal. Wajar – wajar saja promosi perguruan tinggi untuk menjaring mahasiswa baru. Tetapi yang perlu mendapat perhatian adalah pola rekruitmen mahasiswanya (terutama LPTK) sehingga jaminan kualitasnya semakin unggul dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hemat saya, salah satu cara untuk menjaring bibit unggul profesi guru adalah melalui rekruitmen mahasiswa calon guru di LPTK. Sudah saatnya di setiap LPTK untuk tidak asal-asalan menjaring mahasiswa yang notabene adalah calon guru. Caranya (selain tes tertulis ataupun wawancara), bisa saja melalui seleksi rapor SLTA, standarisasi nilai hasil UN SLTA dan lain sebagainya. LPTK dapat memikirkan metode seleksi lainnya sehingga mahasiswa calon guru yang kuliah di LPTK adalah betul-betul bibit unggul. Oleh karena itu maka pemerintah perlu mengadakan restrukturisasi menyeluruh terhadap seluruh LPTK terlebih dalam pola rekruitmen mahasiswanya sehingga kelak mahasiswa calon guru yang belajar di LPTK adalah bibit – bibit unggul putra – putri terbaik bangsa.
Cara lainnya adalah dengan membuka kembali pendidikan keguruan setara SMA. Pendidikan ini semacam Sekolah Menengah Kejuruan yang secara khusus mempersiapkan peserta didik calon guru untuk melanjutkan studinya ke LPTK. Langkah ini kiranya dapat menanamkan motivasi sejak dini kepada calon guru bahwa menjadi guru merupakan suatu panggilan bukan suatu keterpaksaan seperti para sarjana non pendidikan yang belok haluan mengambil akta mengajar untuk menjadi guru karena tidak mendapatkan pekerjaan di sektor lain. Langkah ini juga dianggap jitu jika memperhatikan aspek kelinearan disilin ilmu yang dikuasai. Artinya bahwa seorang calon guru yang akan mengenyam pendidikan di LPTK berasal dari latar displin ilmu yang sama pada pendidikan sebelumnya yaitu berlatar disiplin ilmu keguruan pada pendidikan menengah. Bandingkan saja dengan kualifikasi dosen sesuai amanat UU No. 14 Tahun 2005 dimana UU ini mengisyaratkan bahwa kualifikasi dosen minimal S2 dari S1 yang linear. Pola seperti ini juga dapat diterapkan untuk kualifikasi guru yang minimal S1 tapi harus dari jenjang sebelumnya yang linear. Kemudian ditinjau dari segi waktu maka sangatlah efektif. Semakin lama seorang calon guru mendalami ilmu pendidikan dan keguruan maka penguasaan terhadap bidang ilmu yang dipelajari akan semakin bagus. Dengan mempelajari bidang ilmu tersebut sejak pendidikan menengah kemudian di lanjutkan ke LPTK maka saya yakin kualitas calon guru akan semakin unggul ketimbang hanya kurang lebih 4 tahun mengenyam pendidikan prajabatan di LPTK. Namun satu hal yang perlu diingat bahwa output dari sekolah keguruan pada pendidikan menengah ini bukanlah jaminan untuk bekerja sebagai guru karena UU RI No.14 Tahun 2005 menghendaki kualifikasi guru untuk semua jenjang pendidikan harus minimal S1. Oleh karena itu outputnya harus melanjutkan pendidikannya ke LPTK pada perguruan tinggi.
Sertifikasi guru dan pemberian tunjangan sertifikasi juga bisa menjadi stimulus untuk menjaring calon guru bibit unggul. Upaya sertifikasi dan pemberian tunjangan profesional guru ini patut mendapat apresiasi. Cara untuk meningkatkan pengakuan dan penghasilan yang lebih kompetitif bagi profesi guru ini akan memikat para lulusan terbaik dari SLTA untuk melanjutkan ke program keguruan di perguruan tinggi.

Menghasilkan Guru Berkualitas : Perlu Optimalkan Layanan di LPTK

Seperti yang telah saya sinyalir di atas bahwa rendahnya kualitas guru bisa disebabkan oleh optimalisasi layanan bagi seorang calon guru selama perkuliahan di LPTK yang belum maksimal. Dugaan saya ini beralasan karena sesuai dengan kenyataan dan pengalaman yang saya alami selama kuliah. Dosen jarang memberi kuliah, menjual modul dan sebagainya.
Berkaitan dengan masalah dan kendala guru sebagaimana dikemukakan di atas, cukup banyak kritikan tajam yang ditujukan kepada LPTK khususnya yang berkenaan dengan ketidak mampuan LPTK sebagai lembaga yang menggembleng para calon guru untuk menghasilkan guru yang berkualitas.
Prof. Dr. Mohamad Surya dalam orasi ilmiahnya di hadapan rapat terbuka senat universitas PGRI Yogyakarta tanggal 11 Desember 2007 mengatakan bahwa LPTK di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dan masalah. Masih longgarnya tuntutan persyaratan untuk menjadi calon guru; para peneliti dan pendidik guru baru sampai pada kesepakatan mengenai pengetahuan dasar yang diperlukan oleh guru untuk memasuki kelas. Pendidikan guru di masa lalu hingga sekarang sering dikritik terlalu sempit yang dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang akan diajarkan di kelas. Sementara kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pemahaman mengenai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan kepribadian, dan landasan pedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu tampil sebagai penyampai pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen ( http://afin.blogmalhikdua.com ).
Lahirnya Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan berbagai produk ketentuan hukum lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh Perguruan Tinggi khususnya LPTK yang mempunyai tanggung jawab dalam menghasilkan guru yang berkualitas.
Oleh karena itu maka penerimaan mahasiswa calon guru di LPTK harus diperketat. Demikian juga, tidak sembarang perguruan tinggi boleh menyelenggarakan program pendidikan calon guru. Hanya perguruan tinggi yang benar-benar berkualitas dan program studi yang terakreditasi B saja yang boleh menyelenggarakan program studi kependidikan, itu pun dengan pengawasan yang sangat ketat oleh lembaga independen yang ditunjuk. Cara itu dipastikan akan menghasilkan calon-calon guru yang bermutu yang siap menjadi guru profesional di lapangan (http://www.pekanbaruriau.com/2008/06/guru-kita-ke-depan.html).
Dengan demikian maka ada beberapa saran yang dapat kami sampaikan untuk pembenahan LPTK antara lain :
- Seleksi dengan benar-benar calon mahasiswa yang akan kuliah di jurusan pendidikan (LPTK).
- Selama kuliah di jurusan pendidikan, seorang mahasiswa harus dibekali dengan motivasi menjadi guru yang kuat. Para dosen agar tidak asal-asalan memberi kuliah.
- Jika perlu, LPTK dan pemerintah daerah membuat kontrak merekrut lulusan terbaik SLTA di daerah untuk menjalani ikatan dinas dan di kuliahkan di jurusan pendidikan.

Kiranya beberapa gagasan diatas perlu dipertimbangkan terlebih oleh LPTK agar dapat berbenah diri menuju LPTK “model baru” yang mampu menghasilkan guru bibit unggul.


Penulis adalah Guru SDI Bertingkat Kelapalima 3 Kota Kupang

PENDIDIKAN KOLONG POHONG

Oleh Robert Bala
Pos Kupang, Kamis, 20 Mei 2010
Saya hanya bisa terdiam. Tidak tahu, apakah pernyataan itu diungkapkan secara ikhlas atau sekadar basa-basi karena berharap masih ada sepatu yang bisa dijahit. Tetapi hidungku sempat kembang-kempis’ sambil berkata dalam hati: "moga-moga, ia tidak tahu hasil UN SMA dan SMP tahun 2010 di NTT. Saya pun yang termakan oleh pujian, merasa risih memberitahukan hasilnya.


Mengibuli otak

Ungkapan yang menyanjung, tentu bukan kali ini saja terdengar. Kehebatan putera-puteri terbaik NTT yang pernah menghiasi peta sosial politik Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Ada Gorys Keraf, pakar linguistik, Adrianus Mooy, pakar ekonomi perbankan, Frans Seda, tokoh gigih, sekadar menyebut tiga contoh.

Pertanyaannya: mengapa dari daerah yang tandus, kering kerontang seperti NTT itu bisa lahir tokoh sekaliber itu? Apakah mereka memang 'dari sononya' cerdas? Yang pasti, tidak ada orang yang terlahir sebagai genius. Si Alva Edison sendiri mengatakan secara jelas: Genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Sembilan puluh sembilan persen adalah usaha sementara keterberian’ hanya 1 %.

Kalau demikian, keberhasilan itu dicapai karena sukses memanipulasi pikiran’. Artinya, pikiran secara terus menerus diarahkan untuk (bisa) melakukan hal-hal yang besar. Mereka mengulang dalam diri kemauan positif. Tekad pun terus dipasang. Kehendak dirangsang secara maksimal. Usaha kecil tetapi strategis dilaksanakan hingga mencapai hasil yang hebat.

Tekad untuk terus mencoba dan mengulang (meski gagal), yang menjadi bagian dari kesuksesan tokoh NTT, mengingatkan kita pada teori Ivan Petrovich Pavlov (1849- 1936). Dalam teorinya tentang reflejo condicionado’, ia menganalogikan air liur’ pada hewan yang secara refleksi merangsang kerja perut untuk memulai pencernaan.

Secara pedagogis-edukatif, kesuksesan orang NTT, air liur’ adalah kekuatan internal yang muncul karena terus diulang-ulang. Rangsangan positif diciptakan hingga akhirnya menjadikannya potensial untuk melakukan hal-hal besar di tengah kemustahilan geografis dan ketidakberdayaan ekonomi. Tekad itulah yang menjadikannya berhasil.


Kolong Pohong

Mengapa kebehasilan orang NTT itu tidak menyebar, malah kian memudar? Mengapa prestasi pendidikan yang doeloe’ dibanggakan itu kini begitu menurun hingga menempati urutan terhina di negeri ini? Kalau kita percaya pada teori refleks terkondisi’, maka patut kita akui, keterpurukan adalah buah dari asosiasi yang keliru.

Jelasnya, mentalitas orang NTT tidak lagi dipacu untuk melakukan sesuatu yang terpuji dan membanggakan, melainkan sekadar mengibuli otak untuk berpuas diri dengan apa yang dicapai. Lebih tragis lagi, kisah manipulatif itu berkembang begitu jauh hingga (tanpa disadari), ia membanggakan kelicikannya.

Kisah manipulatif ini tidak kebetulan. Di beberapa daerah di NTT (Flores Timur dan Lembata), kebanggaan itu terpateri dalam kisah si Kolong Pohong’, tokoh yang pandai berbohong. Segala kelicikan digunakan, asal saja tercapai keinginannya. Terkadang ia tertawa bahagia menyaksikan orang yang benar yang mestinya menang, ternyata sukses’ ditipu oleh si Kolong Pohong’.

Ekspresi dari hal ini cukup nyata. NTT hingga kini menjadi bagai surga untuk korupsi. Tidak banyak pejabat NTT yang bisa dijerat. Entah karena mereka tidak sama sekali melakukannya, atau tabiat kolong pohong’ telah begitu hebat sehingga setiap jebakan begitu mudah dilewati?

Mentalitas itu (tanpa disadari) telah masuk hingga turut mempengaruhi proses pendidikan. Pengangkatan guru, promosi kepala sekolah hingga kepala dinas, bukan lagi didasarkan oleh prinsip profesionalitas, melainkan kecerdikan kolong pohong’. Bagi yang sealiran’, berjasa menyukseskan seseorang menjadi kepala daerah’ akan diberikan imbalan’. Proses pendidikan pun tidak jauh dari itu. Tidak sedikit sekolah dikelola apa adanya’. Pendidikan dilaksanakan tanpa beban dan tanggung jawab. Sembonyan: tidur saja dibiayai’ terlampau dominan dalam diri guru pegawai negeri yang merasa, tanpa mengajar pun ia terus menerima gaji. Pengawasan prosedural pun melemah karena pejabat yang lebih tinggi pun keteladanannya jauh untuk dicontohi.


Bangun tekad

Penyakit kronis dan mentalitas yang sudah jauh tertanam tidak bisa secara kilat diubah. Tapi, hal itu tidak berarti mustahil. Pada tempat pertama, butuh tekad. Petinggi NTT mesti sadar, pendidikan adalah soal masa depan. Ia tidak bisa dipolitisir. Rekrutmen guru (pegawai negeri), pengangkatan kepala sekolah, promosi jabatan menjadi Kepala Dinas Pendidikan, bukan urusan politik. Sebaliknya, ketika proses itu dinodai manipulasi politis, akan menghadirkan out put pendidikan seperti yang sekarang ini.

Tekad dalam konteks ini adalah kehendak untuk memberikan reward’ yang pantas untuk guru yang berprestasi dan secara tegas memberikan punishment’ hingga pemecatan pegawai yang tidak secara kualitatif mengadakan pembaharuan. Dalam kenyataan, penghargaan’ yang diberikan bukan karena prestasi tetapi lebih pada sentimen pribadi. Hukuman’ sementara itu terkadang sulit diterapkan karena bahkan pejabat yang berada di atasnya tidak punya kekuatan moral untuk bisa menghukum orang lain lantaran teladannya pun tidak terlalu cemerlang.

Tekad seperti ini bisa saja dianggap sulit. Dalam kenyataannya, masyarakat NTT terkendala dengan kekuatan kolektifnya untuk mengadakan pembaharuan. Saat pemerintah gagal, mereka secara kolektif membangun kesadaran. Sayangnya, kekuatan ini masih bersifat sporadis. Pada beberapa daerah, kekuatan itu bahkan terfriksi oleh pengkotakan masa lalu yang selalu memandang orang lain sebagai musuh dan bukannya rekan yang bisa diajak bekerja sama.

Yang mesti dilakukan adalah sebuah tekad yang lebih menyeluruh. Masyarakat sebagai kekuatan penentu, perlahan mulai membangun kesadaran tentang perubahan yang ada padanya. Ia akan sangat selektif dalam memilih pemimpinnya. Ia tahu, mereka yang cukup royal’ dalam kampanye, begitu bermulut manis’ akan berbalik menjadi pemangsa. Ia akan membidik tokoh bersih, entah lewat jalur independen atau parpol. Ia tahu, hanya dengan demikian, (N)asibnya yang (T)idak (T)entu, menjadi lebih baik. *



Pemerhati pendidikan, tinggal di Jakarta

Kamis, 06 Januari 2011

MENGAPA SISWA TIDAK LULUS UN?

Oleh Drs. Martinus Peka Kada
Pos Kupang, Rabu/ 30 Juni 2010
Itu artinya siswa bersangkutan mampu secara intelektual, punya perwatakan yang baik, dan keterampilan yang mencapai tingkat memadai. Singkat cerita, punya kompetensi seperti yang disyaratkan oleh Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ataupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tak ketinggalan Dinas Pendidikan, kalaupun tidak merasa bersalah, pastilah menepuk dada menyesal. Jelas alasannya, dana yang begitu banyak digelontorkan, waktu serta energi, semua berfokus pada peningkatakan mutu, namun hasilnya belum signifikan.

Pertanyaan mendasar bukan pada wilayah siapa salah dan siapa benar tetapi harus berkisar pada kawasan sistem yang berbicara seputar komponen-komponen terkait dalam satu lingkaran kerja yang bertujuan menghasilkan suatu output. Siswa tidak lulus dalam persentase yang tinggi adalah ciri output yang tidak diharapkan bahkan boleh dikatakan buruk. Saudara para guru pasti paham betul tentang tugas profesional seorang guru. Kalaupun secara teoritis ilmiah mungkin belum bisa merincikan apa itu profesional tetapi realita menyangkut bidang tugas, pastilah tahu. Membuat persiapan, aksi dalam proses pembelajaran, evaluasi serta tidak lanjut program. Begitu sederhana, mana mungkin saudara guru tidak mampu, psatilah bisa.

UU Guru dan Dosen berbicara cukup jelas tentang kompetensi dasar yang wajib dimiliki oleh guru. Dari kompetensi kepribadian, sosial, akademik sampai kompetensi pedagogik. Salah satu pesan yang hendak disampaikan oleh UU Guru dan Dosen adalah bahwa menjadi guru itu suatu profesi. Artinya dengan istilah profesi, pilihan menjadi guru itu setara sejalan dengan profesi seperti dokter, akuntan, dan pengacara.

Ada batasan yang cukup tegas dan harus ada pembuktian baik secara yuridis maupun muatan substansi keilmuan. Tegasnya, menjadi guru, bukanlah sekadar asal jadi guru, daripada tidak ada pekerjaan, biarlah jadi guru sajalah. Kita berharap bahwa para guru kita tidak tergolong dalam area 'guru sekedar'.

Ada alasan lain bahwa guru kita profesional adalah kepemilikan sertifikasi profesi sebagai bukti hukum. Dan bukti legal formal ini sebagai konsekuensi lanjutan yang bercerita bahwa pemilik sertifikasi tersebut telah mempunyai kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik dan akademik. Karenanya profesionalitas dalam mendesain pembelajaran, kecekatan dalam mengelola pembelajaran tidak perlu diragukan. Kalau ragu, apalagi yang mau diragukan? Meski begitu, pertanyaan kita, mengapa nian persentase kelulusan masih sangat prihatin?

Menurut analisis, setidaknya ada beberapa hal, yang meski sebatas dugaan, merupakan penyebab siswa tidak lulus. Saya melihat sebatas guru. (1) Integritas dan komitmen melemah. Seharusnya, kita tidak boleh bicara soal ini karena namanya profesional sudah memuat segmen integritas dan komitmen, artinya begitu menyebut profesionalistas kedua hal tersebut sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan. Yang menjadi soal ialah ketika paradigma sistem dan kebijakan sudah berpindah posisi, sementara realita kita masih sebatas "learning to know" = masih belajar mengetahui, belum sampai pada "learning to do" = belajar untuk berbuat. Artinya komitmen dan integritas itu belum tampak pada performans kerja. Indikator kita sederhana, sebuah pertanyaan, cukup buat kita, "sudahkah guru-guru kita menerapkan secara konsekuensi pendekatan yang pas dalam pembelajaran?" Cobalah jujur menjawab! Semestinya kondisi stagnan seperti itu segera dieliminir dengan semangat profesionalisme. Tugas kita pada wilayah profesionalisme ialah terus-menerus menunjukkan tanggung jawab, kesungguhan, keuletan menuju derajat pencapaian yang optimal. Harus ada keberanian mengakui kekeliruan serta segera merumuskan kekeliruan dalam kalimat yang jujur.

(2) Pembelajaran masih berfokus pada guru. Secara teoritis, kita meyakini bahwa istilah pembelajaran artinya seluruh kegiatan berfokus pada siswa agar potensi atau bakat bawahan siswa bolehlah berkembang secara wajar dan optimal. Cuma soalnya pendekatan atau pandangan dasar tentang siapa itu siswa sudah bergeser, namun dalam realita posisi kita masih pada paradigma lama, meski ada dinamika, tapi toh, masih jalan-jalan di tempat. Pada point ini, bukan tidak mungkin, pembelajaran dirasa sebagai beban dan bukan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Harusnya semangat dasar yang termuat pada kata "sekolah" yang berasal dari bahasa Belanda "sechole" artinya datang untuk bersenang-senang, perlu disegarkan kembali. Karena itu motivasi untuk menjadi pembicara tunggal dalam kelas pelan-pelan dieliminir dan mulai bergeser ke optimalisasi potensi siswa. Ada kecenderungan tetap untuk menceramahi siswa sementara melupakan bahwa pekerjaan mendengar tergolong berat, serta tingkat serapan materi pembelajaran dengan mendengar terbilang cuku rendah, sekitar 20% saja. Sementara persentase yang tersisa haruslah dicapai dengan cara lain.

(3) Etos kerja dan pembangkitan dimensi rohani belum pas di kalangan guru. Artinya para guru masih pada posisi "guru pekerja" dengan ciri mengajar dengan cara yang sama, memakai referensi yang sama, pada siswa yang berbeda, di sekolah yang sama, (Tengku Ramli). Mestinya penanaman kesadaran baru bahwa dengan sungguh-sungguh bekerja adalah semacam "doa" harian bagi seorang guru. Sedikit demi sedikit membersihkan diri dari posisi "guru pekerja". Hal ini bisa mungkin terjadi bila para guru mulai mengubah pola pikir, pola laku dan pola rasa. Rumusannya sederhana, "berani berubah". Istilah ini sama sejalan dengan istilah guru kreatif dan guru inovatif, sedang Robert Kiyosaki dalam buku Tengku Ramli, menyebut dengan istilah "berpindah kuadran".

Paradigma bekerja dengan sungguh-sungguh sama dengan jargon "melayani". Kata "melayani" memuat arti bekerja tanpa pamrih pragmatis. Istilah "melayani" sama dan sejajar dengan kata "investasi". Pada saatnya nanti "investasi" tersebut boleh memberi buah bagi orang yang melakukannya. Dalam perspektif budaya, pekerjaan "melayani" harusnya sudah dengan sendirinya merupakan bagian dari sebuah kepribadian yang tak mungkin dipisahkan. Karena itu adalah tidak tepat dikatakan dengan istilah "penanaman kesadaran baru". Energi "melayani" sudah tertanam dalam kesadaran masing-masing guru tetapi kekuatan itu tidak dibangkitkan hingga mengendap di bawah kesadaran manusiawi seorang guru. Muara dari analisis di atas adalah pada tataran 4 kompetensi guru seperti dimaui oleh UU Guru dan Dosen yaitu kompentensi kepribadian, sosial, akademik, dan pedagogik. Dari perspektif ini sebenarnya Undang-undang Guru dan Dosen cukup menyebut dua kompetensi yaitu kompetensi akademik dan kompetensi pedagogik. Kompetensi kepribadian dan sosial sebenarnya sudah ada dalam setiap pribadi guru. Persoalannya, adakah kesungguhan para guru memanfaatkan kompentensi kepunyaannya itu?

(4) Reward and punishment yang belum pas. Selama ini perlakuan kepada semua guru sama dan merata. Guru yang berprestasi baik dihargai sama dengan guru yang berprestasi buruk. Pola sikap ini dapat melemahkan kinerja guru. Artinya belum ada penciptaan iklim kompetensi yang sehat dan kompetitif. Meski siswa di sebuah sekolah persentase kelulusan rendah, toh guru-gurunya tetap naik pangkat serta uang kesejahteraan tetap dibayar. Artinya guru tidak ikut bertanggung jawab atas prestasinya yang buruk. Sama saja dengan mengatakan bahwa yang salah bukan guru, tapi orang lain. Iklim kerja seperti ini sangat mungkin melemahkan kreativitas dan inovasi di bidang pembelajaran. Para kepala sekolah disarankan untuk boleh menciptakan iklim kerja kompetitif agar mendapatkan guru-guru yang secara kualitas lebih unggul dari pada guru lain. Para guru yang berkualitas harus dipelihara dalam suatu sistem yang memungkinkan guru berkualitas menjadi sumber kecenderungan bagi guru yang lain.

(5) Pemupukan dan pemeliharaan semangat untuk menjadi pendidik yang baik melemah. Memang salah satu fungsi guru adalah mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi hendaklah strategi atau pendekatan yang pas haruslah menjadi titik star karena siswa bukanlah wadah kosong seperti pandangan para ahli tertentu, tetapi sudah dibekali kemampuan, bakat, minat, yang bersifat potensial yang akan berkembang optimal dalam setting lingkungan yang memungkinkan. Mungkin baik juga kita perlu menyadari kembali pandangan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Hadayani. Memang sebagai guru perlu memahami dan menghayati bahwa para siswa adalah sekelompok manusia muda yang perlu dipahami, dihargai, dicintai. Guru perlu menunjukkan perilaku yang diharapkan mendengarkan siswa, menghargai siswa, mengembangkan harga diri siswa, mampu memberi tantangan, dan menciptakan suasana tidak takut gagal, atau tidak takut salah pada diri siswa. (Mansnur Muslich: KTSP).

Kadis PPO Propinsi, Thobias Uly benar, mengatakan bahwa ketidaklulusan siswa hanyalah faktor psikis, siswa kita sebenarnya mampu (Pos Kupang, 4 Juni 2010). Boleh ditambahkan bahwa tidak saja pada saat ujian, faktor psikis juga ikut berperan sangat penting pada waktu mendesain pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, juga pada domain evaluasi. Ada guru yang cenderung mematikan kreativitas dengan mencelah kesalahan siswa, memberi gelar negatif pada siswa. Melaksanakan pembelajaran monoton juga sangat melemahkan kreativitas siswa. Demikian juga menyusun soal yang kurang relevan dengan topik pembelajaran. Adalah sangat merugikan siswa ialah kecenderungan menyusun soal yang tidak boleh siswa benar. Kalau betul ada guru seperti itu maka betapa naifnya guru bersangkutan, mudah-mudahan tidak ada.

Ke depan kita harapkan agar ada semacam diklat bagi para guru yang mampu menciptakan kesadaran baru untuk mengubah atau mencoba pola-pola pembelajaran baru. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau sesudah diklat, ada tindak lanjut semacam on service atau supervisi bagi guru-guru yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan (Diklat). Sistem ini perlu diikuti secara terprogram dengan sasaran utama mengubah paradigma, dari paradigma pengajaran menuju paradigma pembelajaran. Dari paradigma siswa sebagai obyek menjadi siswa sebagai subyek belajar yang sudah diberi kemampuan bawaan dari lahir. Kemampuan itu ada dan potensial yang terekam pada otak sebelah kiri dan otak sebelah kanan. Dan kalau kemampuan itu sudah ada pada siswa, mengapa mesti susah-susah? Yang dibutuhkan adalah keberanian mengubah paradigma: Dari "mengajar" menuju "pembelajaran". Kalau pergeseran paradigma dijalankan secara sungguh-sungguh niscaya seluruh kompetensi siswa tercapai, dan tentu saja persentase kelulusan akan lebih baik. *



Pengawas Sekolah Menengah Flores Timur