WELLCOME TEACHERS

Untuk semua rekan - rekan guru, sahabat kenalan yang mempunyai kepedulian dan perhatian terhadap dunia keguruan.... Ini adalah media kita bersama untuk membagi pengalaman - pengalaman menarik ataupun hal - hal problematis yang pernah kita temui selama menekuni profesi yang diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa tersebut.

Jumat, 07 Januari 2011

PENDIDIKAN KOLONG POHONG

Oleh Robert Bala
Pos Kupang, Kamis, 20 Mei 2010
Saya hanya bisa terdiam. Tidak tahu, apakah pernyataan itu diungkapkan secara ikhlas atau sekadar basa-basi karena berharap masih ada sepatu yang bisa dijahit. Tetapi hidungku sempat kembang-kempis’ sambil berkata dalam hati: "moga-moga, ia tidak tahu hasil UN SMA dan SMP tahun 2010 di NTT. Saya pun yang termakan oleh pujian, merasa risih memberitahukan hasilnya.


Mengibuli otak

Ungkapan yang menyanjung, tentu bukan kali ini saja terdengar. Kehebatan putera-puteri terbaik NTT yang pernah menghiasi peta sosial politik Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Ada Gorys Keraf, pakar linguistik, Adrianus Mooy, pakar ekonomi perbankan, Frans Seda, tokoh gigih, sekadar menyebut tiga contoh.

Pertanyaannya: mengapa dari daerah yang tandus, kering kerontang seperti NTT itu bisa lahir tokoh sekaliber itu? Apakah mereka memang 'dari sononya' cerdas? Yang pasti, tidak ada orang yang terlahir sebagai genius. Si Alva Edison sendiri mengatakan secara jelas: Genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Sembilan puluh sembilan persen adalah usaha sementara keterberian’ hanya 1 %.

Kalau demikian, keberhasilan itu dicapai karena sukses memanipulasi pikiran’. Artinya, pikiran secara terus menerus diarahkan untuk (bisa) melakukan hal-hal yang besar. Mereka mengulang dalam diri kemauan positif. Tekad pun terus dipasang. Kehendak dirangsang secara maksimal. Usaha kecil tetapi strategis dilaksanakan hingga mencapai hasil yang hebat.

Tekad untuk terus mencoba dan mengulang (meski gagal), yang menjadi bagian dari kesuksesan tokoh NTT, mengingatkan kita pada teori Ivan Petrovich Pavlov (1849- 1936). Dalam teorinya tentang reflejo condicionado’, ia menganalogikan air liur’ pada hewan yang secara refleksi merangsang kerja perut untuk memulai pencernaan.

Secara pedagogis-edukatif, kesuksesan orang NTT, air liur’ adalah kekuatan internal yang muncul karena terus diulang-ulang. Rangsangan positif diciptakan hingga akhirnya menjadikannya potensial untuk melakukan hal-hal besar di tengah kemustahilan geografis dan ketidakberdayaan ekonomi. Tekad itulah yang menjadikannya berhasil.


Kolong Pohong

Mengapa kebehasilan orang NTT itu tidak menyebar, malah kian memudar? Mengapa prestasi pendidikan yang doeloe’ dibanggakan itu kini begitu menurun hingga menempati urutan terhina di negeri ini? Kalau kita percaya pada teori refleks terkondisi’, maka patut kita akui, keterpurukan adalah buah dari asosiasi yang keliru.

Jelasnya, mentalitas orang NTT tidak lagi dipacu untuk melakukan sesuatu yang terpuji dan membanggakan, melainkan sekadar mengibuli otak untuk berpuas diri dengan apa yang dicapai. Lebih tragis lagi, kisah manipulatif itu berkembang begitu jauh hingga (tanpa disadari), ia membanggakan kelicikannya.

Kisah manipulatif ini tidak kebetulan. Di beberapa daerah di NTT (Flores Timur dan Lembata), kebanggaan itu terpateri dalam kisah si Kolong Pohong’, tokoh yang pandai berbohong. Segala kelicikan digunakan, asal saja tercapai keinginannya. Terkadang ia tertawa bahagia menyaksikan orang yang benar yang mestinya menang, ternyata sukses’ ditipu oleh si Kolong Pohong’.

Ekspresi dari hal ini cukup nyata. NTT hingga kini menjadi bagai surga untuk korupsi. Tidak banyak pejabat NTT yang bisa dijerat. Entah karena mereka tidak sama sekali melakukannya, atau tabiat kolong pohong’ telah begitu hebat sehingga setiap jebakan begitu mudah dilewati?

Mentalitas itu (tanpa disadari) telah masuk hingga turut mempengaruhi proses pendidikan. Pengangkatan guru, promosi kepala sekolah hingga kepala dinas, bukan lagi didasarkan oleh prinsip profesionalitas, melainkan kecerdikan kolong pohong’. Bagi yang sealiran’, berjasa menyukseskan seseorang menjadi kepala daerah’ akan diberikan imbalan’. Proses pendidikan pun tidak jauh dari itu. Tidak sedikit sekolah dikelola apa adanya’. Pendidikan dilaksanakan tanpa beban dan tanggung jawab. Sembonyan: tidur saja dibiayai’ terlampau dominan dalam diri guru pegawai negeri yang merasa, tanpa mengajar pun ia terus menerima gaji. Pengawasan prosedural pun melemah karena pejabat yang lebih tinggi pun keteladanannya jauh untuk dicontohi.


Bangun tekad

Penyakit kronis dan mentalitas yang sudah jauh tertanam tidak bisa secara kilat diubah. Tapi, hal itu tidak berarti mustahil. Pada tempat pertama, butuh tekad. Petinggi NTT mesti sadar, pendidikan adalah soal masa depan. Ia tidak bisa dipolitisir. Rekrutmen guru (pegawai negeri), pengangkatan kepala sekolah, promosi jabatan menjadi Kepala Dinas Pendidikan, bukan urusan politik. Sebaliknya, ketika proses itu dinodai manipulasi politis, akan menghadirkan out put pendidikan seperti yang sekarang ini.

Tekad dalam konteks ini adalah kehendak untuk memberikan reward’ yang pantas untuk guru yang berprestasi dan secara tegas memberikan punishment’ hingga pemecatan pegawai yang tidak secara kualitatif mengadakan pembaharuan. Dalam kenyataan, penghargaan’ yang diberikan bukan karena prestasi tetapi lebih pada sentimen pribadi. Hukuman’ sementara itu terkadang sulit diterapkan karena bahkan pejabat yang berada di atasnya tidak punya kekuatan moral untuk bisa menghukum orang lain lantaran teladannya pun tidak terlalu cemerlang.

Tekad seperti ini bisa saja dianggap sulit. Dalam kenyataannya, masyarakat NTT terkendala dengan kekuatan kolektifnya untuk mengadakan pembaharuan. Saat pemerintah gagal, mereka secara kolektif membangun kesadaran. Sayangnya, kekuatan ini masih bersifat sporadis. Pada beberapa daerah, kekuatan itu bahkan terfriksi oleh pengkotakan masa lalu yang selalu memandang orang lain sebagai musuh dan bukannya rekan yang bisa diajak bekerja sama.

Yang mesti dilakukan adalah sebuah tekad yang lebih menyeluruh. Masyarakat sebagai kekuatan penentu, perlahan mulai membangun kesadaran tentang perubahan yang ada padanya. Ia akan sangat selektif dalam memilih pemimpinnya. Ia tahu, mereka yang cukup royal’ dalam kampanye, begitu bermulut manis’ akan berbalik menjadi pemangsa. Ia akan membidik tokoh bersih, entah lewat jalur independen atau parpol. Ia tahu, hanya dengan demikian, (N)asibnya yang (T)idak (T)entu, menjadi lebih baik. *



Pemerhati pendidikan, tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar